Saturday, April 15, 2017

PENGENALAN ORDO ORTHOPTERA

PENGENALAN ORDO ORTHOPTERA
( Laporan Praktikum Bioekologi Hama Tumbuhan)







Oleh
Erni Maryani
1314121060








 



















JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2014




I.              PENDAHULUAN



1.1         Latar Belakang


Pertanian sangat erat hubungannya dengan budidaya tanaman. Dalam proses  pembudidayaan tanaman memerlukan beberapa tahapan yaitu dimulai dari penyiapan lahan, pengolahan lahan, penyiapan bibit, penanaman, pengendalian OPT, pemupukan dan pemanenan. Diantara beberapa tahapan tersebut umumnya yang paling sulit yaitu pengendalian OPT.

Organisme pengganggu tanaman adalah pengertian hama secara luas. Sedangkan pengertian hama secara sempit yaitu hewan pengganggu tanaman yang dimulai dari proses penanaman hingga penyimpanan yang menyebabkan penurunan hasil kualitas dan kuantitas hasil panen, mengganggu tanaman saat proses pengelolaan di lahan pertanian, merusak hasil pertanian saat penyimpanan serta sebagai penularan vektor penyakit pada manusia, hewan dan tumbuhan.

Hewan yang merupakan hama berasal dari ordo yang berbeda-beda. Salah satu ordo yang anggotanya berperan sebagai hama yaitu ordo Orthoptera. Pengelompokan ordo Orthoptera juga dipengaruhi kesamaan dalam bentuk morfologi, ciri dan sifat-sifat yang dimiliki pada hewan tersebut. Karena bentuk morfologi seperti tipe mulut, ciri dalam pola makan, menyebabkan hewan tersebut dikategorikan sebagai hama. Untuk mengetahui berbagai macam spesies anggota ordo Orthoptera maka dilakukan praktikum pengenalan ordo Orthoptera ini.





1.2         Tujuan

Adapun tujuan dari praktikum ini yaitu:
1.      Mengetahui anggota dari ordo Orthoptera beserta klasifikasinya.
2.      Mengetahui ciri-ciri, morfologi dari anggota ordo Orthoptera.
3.      Mengetahui siklus hidup anggota ordo Orthoptera.
4.      Mengetahui peran anggota ordo Orthoptera dalam agroekosistem.
5.      Megetahui gejala kerusakan yang ditimbulkan dan cara pengendaliannya.























  


II.           METODOLOGI PERCOBAAN



2.1         Alat dan Bahan

Adapun alat dan bahan yang digunakan pada praktikum pengenalan Ordo Orthoptera yaitu cawan petri yang berisi orong-orong (anjing tanah), belalang kayu, kecoa, jangkrik, belalang sembah, dan belalang pedang.


2.1     Cara Kerja

Adapun cara kerja pada praktikum pengenalan Ordo Orthoptera yaitu:
1.    Disiapkan spesimen dari ordo Orthoptera.
2.    Diamati masing-masing spesimen pada ordo Orthoptera.
3.    Dilakukan pendeskripsian tentang anggota ordo Orthoptera berupa deskripsi morfologi.
4.    Didokumentasikan spesimen yang diamati.
5.    Dicari dari referensi angora ordo Orthoptera tersebut.

















III.        HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN



3.1         Hasil Pengamatan

No.
Nama
Gambar Asli
Gambar Tangan
1.


Orong-orong (anjing tanah) -Gryllotalpa sp.- (Orthoptera: Gryllotalpidae)



2.



Belalang Kayu- Valanga nigricornis-  (Orthoptera: Acrididae)



 Adapun hasil pengamatan pada praktikum kali ini yaitu:


3.



Kecoa- Blatella sp.- (Orthoptera:Blatidae)



4.


Jangkrik –Gryllus sp.-(Orthoptera:Gryllidae)



5.


Belalang Sembah- Mantis religiosa – (Orthoptera:Mantidae)



6.


Belalang Pedang – Sexava sp. –(Orthoptera:Tettigonidae)





3.2         Pembahasan


3.2.1   Orong-orong(anjing tanah)- Gryllotalpa sp.- (Orthoptera : Gryllotalpidae)

Anjing tanah adalah serangga berukuran sedang, berwarna coklat terang hingga gelap, memiliki kulit pelindung yang tebal yang hidup di dalam tanah, dengan sepasang tungkai depan termodifikasi berbentuk cangkul untuk menggali tanah dan berenang. Hewan muda memiliki sayap yang pendek. Hewan ini aktif pada malam hari (nokturnal) dan pada musim dingin melakukan hibernasi. Pada musim kawin hewan ini dapat menghasilkan suara melalui mekanisme mirip jangkrik (dengan organ stridulasi), namun dengan suara yang jauh berbeda. Suaranya bersifat monoton, tanpa jeda, dan amat mengganggu pendengaran. Bila lubang persembunyiannya didekati, ia akan berhenti bersuara namun akan memulai lagi begitu merasa gangguan berlalu. Habitat yang disukai adalah ladang yang kering, pekarangan, serta lapangan rumput. Hewan ini dapat ditemukan di semua tempat, kecuali daerah dekat kutub bumi (Saussure, 1970 dalam Erni,2014)

Anjing tanah atau orong-orong merupakan serangga yang hidup di tanah dengan ciri khas sepasang tungkai depan yang termodifikasi menyerupai cangkul bergerigi. Bagi anjing tanah (orong-orong), tungkai ini berfungsi untuk menggali tanah atau berenang. Anjing tanah mempunyai bentuk kepala khas yang besar dan bercangkang keras (Tambunan, 2013 dalam Erni, 2014).

Siklus hidup dari orong-orong dimulai dari telur. Telur berwarna putih kekuning – kuningan, diletakkan pada sel – sel keras yang dibuat dari tanah. Didalam satu sel terdapat 30 – 50 butir telur. Kemudian setelah itu berubah menjadi nimfa. Nimfa seperti serangga dewasa, tetapi ukurannya lebih kecil. Sifatnya sangat polifag, mamakan akar, umbi, tanaman muda dan serangga kecil seperti kutu daun. Lamanya daur hidup 3 – 4 bulan (Suprapto, 2013).

Orong-orong dalam agroekosistem sawah merupakan hama. Meskipun demikian, orong-orong bukanlah merupakan hama utama pada pertanaman padi, tetapi sering menjadi masalah di lahan tadah hujan dan gambut (Supriani, 2009).

Orong-orong merusak akar muda dengan cara memotong tanaman padi di pangkal batang yang berada di bawah tanah dengan tipe mulut orong-orong sendiri yaitu menggigit mengunyah. Gejala kerusakan demikian terkadang sering dikira petani disebabkan oleh penggerek batang (sundep). Tanaman padi muda yang diserangnya mati sehingga terlihat adanya spot-spot kosong di sawah. Stadia tanaman rentan terhadap serangan hama ini adalah fase pembibitan sampai anakan. Benih di pembibitan juga dapat dimakannya (Hidayat, 2001).

Cara pengendalian dari serangan hama orong-orong yaitu:
1. perataan tanah agar air tergenang merata.
2. penggenangan sawah 3-4 hari dapat membantu membunuh telur orang-orong di tanah.
3. penggunaan umpan (sekam dicampur insektisida).
4. penggunaan insektisida (bila diperlukan) yang berbahan aktif karbofuran atau fipranil (Sutomo, 2012 dalam Erni, 2014).

3.2.2   Belalang Kayu- Valanga nigricornis- ( Orthoptera: Acrididae)

Secara morfologi, tubuh serangga dewasa dapat dibedakan menjadi tiga bagian utama, sementara bentuk pradewasa biasanya menyerupai moyangnya, hewan lunak beruas mirip cacing. Ketiga bagian tubuh serangga dewasa adalah kepala (caput), dada (thorax), dan perut (abdomen) (wikipedia,2010).

Belalang (Valanga nigricornis) yang tergolong dari ordo orthoptera biasa disebut dengan belalang kayu. Belalang kayu memiliki ciri-ciri antara lain memiliki antena pendek, organ pendengaran terletak pada ruas abdomen serta alat petelur yang pendek. Kebanyakan warnanya kelabu atau kecoklatan dan beberapa mempunyai warna cemerlang pada sayap belakang. Serangga ini termasuk pemakan tumbuhan dan sering kali merusak tanaman. Adapun alat mulutnya bertipe penggigit pengunyah. Alat-alat tambahan lain pada caput antara lain : dua buah (sepasang) mata facet, sepasang antene, serta tiga buah mata sederhana (occeli). Dua pasang sayap serta tiga pasang kaki terdapat pada thorax. Pada segmen (ruas) pertama abdomen terdapat suatu membran alat pendengar yang disebut tympanum (Sudarmono, 2002).

Daur hidup Valanga nigricornis termasuk pada kelompok metamorfosis tidak sempurna. Pada kondisi laboratorium (temperatur 28 °C dan kelembapan 80 % RH) daur hidup dapat mencapai 6,5 bulan sampai 8,5 bulan. Fekunditas rata-ratanya mencapai 158 butir. Keadaan yang ramai dan padat akan memperlambat proses kematangan gonad dan akan mengurangi fekunditas. Metamorfosa sederhana (paurometabola) dengan perkembangan melalui tiga stadia yaitu telur, nimfa, dan dewasa (imago). Bentuk nimfa dan dewasa terutama dibedakan pada bentuk dan ukuran sayap serta ukuran tubuhnya (Kalshoven, 1981).

Peran belalang kayu dalam agroekosistem yaitu sebagai hama. Hama belalang kayu menyerang terutama pada bagian daun, daun terlihat rusak karena terserang oleh hama tersebut. Jika populasinya banyak dan belalang sedang dalam keadaan kelaparan, hama ini bisa menghabiskan daun-daun sekaligus dengan tulang-tulangnya (Surachman, 1998).

Tipe mulut pada belalang kayu yaitu mandibulata atau menggigit mengunyah. Tipe mulut seperti ini akan menimbulkan gejala kerusakan yang spesifik. Gejala kerusakan yang ditimbulkan oleh belalang kayu juga dipengaruhi dengan siklus hidupnya. Belalang kayu, baik yang masih muda (nimfa) maupun yang sudah dewasa memakan daun-daun tanaman jagung sehingga mengurangi luas permukaan daun. Belalang dewasa biasanya memakan bagian tepi daun (margi folii) sementara nimfanya memakan di antara tulang-tulang daun sehingga menimbulkan lubang-lubang pada daun. Kerusakan tanaman biasanya ini tidak serius, tetapi kerusakan daun ini pasti berpengaruh terhadap produktifitas tanaman yang diserang. Jika serangan tanaman ini serius, daun tanaman jagung yang diserang akan rusak bahkan habis dimakan (Surachman, 1998).

Pegendalian dari hama belalang kayu yaitu  secara kimiawi dapat dilakukan dengan menyemprotkan phosdrin, diazinon, basudin, dan insektisida lainnya, secara teknis dapat dilakukan dengan memberikan telur belalang kepada ayam, xsecara biologis dilakukan dengan merawat kumbang endol yang lawanya sebagai parasite telur belalang. Pengendalian dengan kultur teknis adalah dengan pengaturan pada penanganan (Taslim, 1989).

3.2.3   Kecoa- Blatella sp.- ( Orthoptera:Blatidae)
Kecoa memiliki 3 bagian tubuh utama yaitu kepala (caput), thorax (dada) dan abdomen (perut). Pada segmen thorax terdapat 3 pasang kaki dengan type alat kaki cursorial artinya memiliki ukuran dan bentuk yang sama dimana type alat kaki ini berfungsi untuk berlari. Tipe alat mulut kecoa adalah menggigit mengunyah ( Wita, 2008 dalam Erni, 2014).

Berikut siklus hidup kecoa yaitu:
1. Telur kecoa bertelur sebanyak 16 sampai 40 telur. Telur-telur itu dibungkus dengan semacam bungkus dalam satu wadah yang disebut ootheca. Ootheca mencegah telur-telur ini mengalami kekeringan. Seekor betina dalam hidupnya mampu menghasilkan setidaknya 50 ootheca plus telur-telurnya. Telur-telur ini akan menetas dalam 6 sampai 7 minggu.
2. Setelah menetas, maka akan muncul nimfa. Kecoa tergolong serangga dengan metamorfosis tak lengkap, sehingga tidak ada fase pupa (kepompong). Nimfa secara perlahan akan menebal pada bagian exo-nya sehingga makin keras tubuhnya. Nimfa hanya memiliki mata sederhana tanpa mata faset dan tidak bersayap. Bentuknya sudah mirip dewasa. Nimfa kecoa tergolong rakus karena memakan semua barang organik. Kecoa setidaknya harus 8 kali ganti kulit untuk mencapai fase dewasa dalam kurun waktu 9-13 bulan
3. Setelah fase dewasa, kecoa akan mampu bereproduksi. Kecoa juga memiliki dua pasang sayap untuk terbang. Secara normal, kecoa dewasa akan hidup setidaknya hingga 1 tahun ( Wita, 2008 dalam Erni, 2014).

Kecoa mempunyai peranan yang cukup penting dalam penularan penyakit.
Peranan tersebut antara lain :
·      Sebagai vector mekanik bagi beberapa mikro organisme patogen.
·      Sebagai inang perantara bagi beberapa spesies cacing.
·      Menyebabkan timbulnya reaksi-reaksi alergi seperti dermatitis, gatal-gatal dan pembengkakan kelopak mata.
Serangga ini dapat memindahkan beberapa mikro organisme patogen antara lain, Streptococcus, Salmonella dan lain-lain (Mamud, 2011 dalam Erni, 2014).
Cara pengendalian kecoa menurut Depkes RI (2002), ditujukan terhadap
kapsul telur dan kecoa :
1.       Pembersihan kapsul telur yang dilakukan dengan cara :
Mekanis yaitu mengambil kapsul telur yang terdapat pada celah-celah dinding,celah-celah almari, celah-celah peralatan, dan dimusnahkan dengan membakar/dihancurkan.
2.      Pemberantasan kecoa
Pemberantasan kecoa dapat dilakukan secara fisik dan kimia.
Secara fisik atau mekanis dengan :
- Membunuh langsung kecoa dengan alat pemukul atau tangan.
- Menyiram tempat perindukkan dengan air panas.
- Menutup celah-celah dinding.
-Menggunakan bahan kimia (insektisida) dengan formulasi spray    (pengasapan), dust (bubuk), aerosol (semprotan) atau bait (umpan).
Selanjutnya kebersihan merupakan kunci utama dalam pemberantasan kecoa yang dapat dilakukan dengan cara-cara seperti sanitasi lingkungan, menyimpan makanan dengan baik dan intervensi kimiawi (insektisida, repellent, attractan) (Siregar, 2010 dalam Erni, 2014).

3.2.4        Jangkrik – Gryllus sp.- ( Orthoptera: Gryllidae)
Jangkrik memiliki cirri-ciri morfologi yaitu:
·       Kepala berwarna hitam dengan dua rambut di dekat matanya.
·      Kepala dan perut beerwarna hitam.
·      Memiliki 6 pasang kaki.
·      Kaki belakang lebih besarndan kuat dari kaki lainnya. Kaki ini digunakan untuk melompat.
·      Memiliki 2 pasang sayap.
·      Pangka sayap berwarna kuning.
·      Sayap luar memiliki lekukan-lekukan dengan pola tertentu, sehingga dapat menghasilkan suara saat sayap ini digerakkan.
·      Sayap dalam tipis dan lebar. Sayap ini digunakan untuk terbang.
·      Pada ujung perut, terdapat 2 ekor yang berbentuk seperti jarum (Mazoin, 2013 dalam Erni, 2014).


Jangkrik termasuk serangga dengan metamorfosis tidak sempurna. Fase metamorfosis jangkrik meliputi fase telur, nimfa (pradewasa; "telendho" = bahasa Jawa), dan (dewasa). Siklus hidup jangkrik betina adalah 3 bulan, sedangkan jangkrik jantan kurang < 3 bulan. Telur jangkrik akan menetas pada umur ± 13 hari, umur nimfa adalah ± 1,5 bulan, dan umur jangkrik dewasa adalah ± 1,5 bulan. Nimfa jangkrik akan berganti kulit sebanyak 6-8 kali selama masa pertumbuhannya. Setelah nimfa ganti kulit yang terakhir akan menjadi jangkrik dewasa, jangkrik dewasa akan mulai kawin setelah umur 3-4 hari. Peternak jangkrik telur membutuhkan waktu ± 2 - 4 minggu untuk produksi telur, sedangkan untuk produksi jangkrik muda (telendho) dibutuhkan waktu ± 2 bulan (Nugraha, 2007 dalam Erni, 2014).

Cara pengendalian jangkrik yaitu dengan menggunakan lampu atau obor pada malam hari. Biasanya jangkrik akan mendatangi cahaya tersebut. Jangkrik yang berdatangan itu kemudian ditangkap. Jangkrik jantan dapat dijual di pasar. Sedangkan jangkrik betina bias digunakan untuk pakan ayam (Pracaya, 2008).

3.2.5        Belalang Sembah- Mantis religiosa – (Orthoptera: Mantidae)
Belalang sembah, disebut demikian sebab sepasang kaki mukanya bersikap seperti dalam posisi menyembah raja. Belalang ini memiliki bermacam jenis, ada yang warnanya seperti bunga, ada yang hijau kekuningan, hijau pucat, ada yang coklat kelabu atau coklat tua. Belalang Sembah memiliki ukuran tubuh dari medium sampai besar, bersifat hemimetabola, mulutnya tipe pengunyah, memiliki dua pasang sayap, sayap depan lebih tebal dan seperti kertas dari kulit yang disebut tegumina. Sayap belakang berupa membran dan dilipat seperti kipas dan terletak di bawah sayap depan. Tubuhnya juga terbungkus oleh eksoskleton yang melindungi sistem organ yang lunak sebelah dalam. eksoskeleton merupakan kuikula yang tersusun  dari kitin dan terbagi atas segmen – segmen (Pracaya, 1999).

Daur hidup dari belalang sembah yaitu; telur belalang sembah diletakkan pada ranting atau bagian tanaman lainnya. Biasanya telur ditutup dengan buih berukuran cukup besar. Buih tersebut kemudian mengeras. Nimfa yang akan muncul jumlahnya puluhan hingga ratusan, tetapi perkembangannya lambat. Nimfa binatang tersebut bergerak, bersikap menyembah, dan juga menangkap mangsanya dengan cepat. Sementara itu, biasanya belalang dewasa tidak bergerak, tetapi dengan sabar sambil menyembah dan menunggu mangsanya. Belalang betina biasanya memakan belalang jantan sesudah perkawinan (Pracaya, 2008).

Belalang sembah berperan sebagai predator. Belalang sembah memakan seranggga yang merusak tanaman. Misalnya aphids, lalat buah, dan helopeltis (Pracaya, 1999).

Biasanya jika belalang sembah tidak memperoleh makanannya dari serangga lain maka belalang sembah akan memakan tumbuh-tumbuhan, sehingga belalang sembah dapat merugikan tanaman. Oleh sebab itu populasinya harus tetap dijaga dalam kondisi yang stabil. Cara pengendalian belalang sembah apabila jumlah populasi dari belalang tersebut sudah berlebihan yaitu dengan cara mengatur pola tanam dan mananam tanaman alternative yang tidak disukai oleh belalang sembah, kelompok tani dapt secara bersama-sama mencari populasi belalang menggunakan jarring, dann penyemprotan pada telur-telur belalang (Huda, 2010 dalam Erni, 2014).


3.2.6        Belalang Pedang – Sexava sp. –(Orthoptera: Tettigonidae)

Disebut belalang pedang karena memiliki alat ovipositor yang berfungsi sebagai alat peletakan telur pada belalang betina. Belalng pedang aktif pada malam hari untuk mencari makanan. Cirri khas pada belalang ini adalah sungut yang panjang, ovipositor pada abdomen yang memanjang seperti pedang, berwarna hijau seperti daun, terkadang berwarna coklat (Pracaya. 1991).

Belalang ini memiliki tipe mulut mandibulata atau menggigit Hewan  ini umumnyaa berperan sebagai hama dalam agroekosistem. mengunyah. Gejala yang ditimbulkan dari belalang ini adalah tanaman mendadak rusak di pagi hari. Helai daun habis dilahap mulai dari tepi, bahkan nimfa juga memakan bunga dan buah kelapa (Khalsovan, 1981).

Siklus hidup belalang pedang yaitu mengalami metamorphosis tidak sempurna. Belalang ini sangat aktif pada malam hari. Belalang betina bertelur di dalam tanah sedalam 1-5cm, di antara akar-akar di pangkal batang, dalam tanah, dalam kayu yang membusuk. Bentuk telur belalang ini menyerupai bulir padi yang masih utuh sepanjang 9-12cm. jumlah telur kurang lebih sebanyak 58 butir. Pada pertama menetas telur datar, namun setelah perkembangan embrio membengkak. Nimfa menetas setelah 50 hari pada waktu malam hari pada pukul 07.00-09.00, nimfa yang menetas memiliki panjang kurang dari 13 cm dan sungut 8-9 cm. belalang ini makan daun kelapa, salak, pinang, kelapa sawit. Tepi daun yang dimakan belalang menjadi sangat kasar, belalang ini lebih suka makan daun yang lebih tua dibandingkan daun muda. Periode perkembangan nimfa hingga imago selama 70-110 hari (Pracaya. 1991).

Penanggulangan yang dapat dilakukan yakni meliputi cara mekanis, kimiawi, dan budidaya. Untuk penanggulangan secara mekanis dapat dilakukan dengan pemusnahan masal mulai dari stadia telur, nimfa, hingga imago. Untuk cara kimiawi dapat dilakukan dengan cara penyemprotan dipagi hari dengan insektisida berbahan aktif asefat seperti Amcothene 75 SP, Dafat 75 SP, atau insektisida berbahan aktif diazinon, Diazinon 600 EC. Alternatif lain Regent 50 SC, Decis 25 EC, dan Buldok 25 EC, Matador 25 EC, Alika 247 ZC. Sedangkan cara budidaya dapat dilakukan dengan sanitasi lahan, karena beberapa jenis belalang pedang meletakkan telur di serasah dan tanaman gulma (Oka, 1995).




IV.             KESIMPULAN



Adapun kesimpulan dari praktikum kali ini yaitu:
1.             Ordo Orthoptera memiliki ciri yang spesifik seperti jumlah tungkai, adanya sayap, struktur tubuh.
2.             Ordo Orthoptera memiliki tiga bagian tubuh yaitu kepala, toraks dan abdomen.
3.             Tipe mulut dari serangga anggota ordo Orthoptera yaitu mandibulata (menggigit mengunyah).
4.             Siklus hidup Orthoptera mengalami metamorfosis tidak sempurna.
5.             Kerusakan yang ditimbulkan dari anggota Orthoptera bermacam-macam mulai dari kerusakan pada biji, batang, daun, maupun buah.


DAFTAR PUSTAKA



Anonim. 2013. Belalang Wikipedia. http://id.wikipedia.org/wiki/belalang.  Diakses pada 20 oktober 2014 pukul 21.43 WIB.

Hidayat, Anwar. 2001. Mengidentifikasi Jenis dan Sifat Hama. HTTP://psbtik.smkn1 cms.net./ mengidentifikasi_jenis_dan_sifat_hama.pdf. Diakses pada 20 oktober 2014 pukul 20.33 WIB.

Huda, Samsul. 2010. Pengendalian Hama Belalang. Http://skp.unair.ac.id/ repository /web-pdf/web_PENGENDALIAN_HAMA_BELALANG _ SYAMSUL_HUDA.pdf. Diakses pada 20 oktober 2014 pukul 23.45 WIB.

Mamud. 2011. Musuh Alami, Hama dan Penyakit Tanaman Lada. http://www.mamud. com/Docs/Pepper.pdf. Diakses pada 20 oktober 2014 pukul 20.41 WIB.


Kalshoven, L.G.E. 1981. Pest of Crops in Indonesia. PT Ichtiar Baru, Jakarta.

Mazoin. 2013. Pengamatan Kajian Asli Fauna Indonesia. http://mazoin.files.wordpress.com/2013/06/f11210-14.pdf. Volume 11 No 2 Hal 32-39.

Nugraha, 2007. Zoo Indonesia Jurnal Fauna tropika. http://biologi.lipi.go.id/jurnal/reinwardtia/2009_04_23_10_55_40cover_depan_dan_vol_16%281%29_21-29.pdf. Volume 16 No 1 hal 21.

Oka, I.N. 1995. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia. Gajah Mada University Press. Jogjakarta.

Pracaya. 1991. Hama Penyakit Tanaman Edisi III. Penebar Swadaya. Jakarta.

Pracaya. 1999. Hama Penyakit Tanaman Edisi IV. Penebar Swadaya. Jakarta

Pracaya. 2008. Hama Penyakit Tanaman. Penebar Swadaya. Jakarta.

Saussure. 1970. Anjing tanah dalam perangko Seri Lingkungan Hidup 2008. http://id.wikipedia.org/wiki/Anjing_tanah. Diakses pada 20 oktober 2014 pukul 21.48 WIB.


Siregar, 2010. Cara Pengendalian Kecoa Menurut Dep.Kes RI. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17538/4/Chapter%20II.pdf. Diakses pada 20 oktober 2014 pukul 20.43 WIB.

Surachman, E. dan W. Agus. 1998. Hama Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan. Penerbit Kanisius, Jakarta.

Suprapto, 2013. Materi Penyuluhan Pengendalian Hama Sawah. Kementrian Pertanian Badan Penyuluh Peningkatan Sumber Daya Manusia Pertanian. Jakarta.

Supriani, Y.,A Dwinardi, dan T.Sunardi.2009.Komparasi Dua tipe Perangkap untuk Monitoring populasi Orong-orong (Gryllotalpa sp. di Areal Sawah Tadah Hujan Kecamatan Air Periukan Kabupaten Seluma. Tesis, Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu.

Sudarmono. 2002. Pengenalan Serangga, Hama, Penyakit, dan Gulma Padi. Kanisius. Yogyakarta.

Sutomo. 2012.Hama Pada Tanaman Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Gryllothalpa orientalis Bumister. Bandung.

Tambunan, D.T., D. Bhakti, dan F. Zahra.2013 Keanekaragaman Arthropoda
pada Tanaman Jagung Transgenik.Jurnal online Agroteknologi.pdf. Vol.1.No.3 Juni 2013 hal 33-44.

Taslim, S. dan Fagi, A.M. 1989. Bercocok Tanam Padi Sawah. Balai Penelitian
Tanaman Pangan Bogor, Bogor

Wita, Diah. 2008. Pengenalan Anggota Ordo Orthoptera. http://digilib.unimus.ac. id/files/ disk1/10/jtptunimus-gdl-s1-2008-diahdwitap-488-3-bab2.pdf. diakses pada 20 oktober 2014 pukul 19.48 WIB.












aftimar

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 comments:

Post a Comment

Manual Categories