INOKULASI
(Laporan Praktikum Bioekologi Penyakit
Tumbuhan)
Oleh
Aftimar Syafitri T.
1314121008
JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2014
I.
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Pada
praktikum ini, kita akan membahas tentang cara kerja inokulasi, yang merupakan
tindakan yang terkhair di lakukan pada cara kerja postulat koch. inokulasi adalah pekerjaan memindahkan bakteri dari medium
yang lama ke medium yang baru dengan tingkat ketelitian yang sangat tinggi.
Untuk melakukan penanaman bakteri (inokulasi) terlebih dahulu diusakan agar
semua alat yang ada dalam hubungannya dengan medium agar tetap steril, hal ini
agar menghindari terjadinya kontaminasi.
Inokulasi yang
dilakuan dengan menggunakan cabai dan daun lidah mertua yang ada. Inokulasi
merupakan penginfeksian jamur hasil kultur murni ke dalam tubuh inang (dalam
hal ini adalah cabai sehat). Air dimasukkan ke dalam nampan. Lalu diberi tissue
hingga seluruh bagian nampan tertutupi. Di atas tissue yang basah tersebut
diberi pipet sebagai tempat peletakan cabai. Terdapat dua perlakuan cabai dalam
praktikum ini, yaitu dilukai dan tidak dilukai. Cabai sehat lalu diberi jamur
hasil reisolasi di atasnya. Cabai yang telah kontak dengan jamur ini kemudian diletakkan
di atas pipet. Cabai tidak boleh terkena air. Pengamatan dilakukan setiap hari
dengan mengamati gejala dan tanda yang timbul pada cabai.
Pada tahap
dimana suatu tanaman kontak dengan suatu pathogen dan
menyebabkan tanaman itu terinfeksi. Inokulum adlah pathogen yang
menyebabkan atau mrngadakan kontak dengan tanaman sehat. Sumber suber
inokulum banyak sekali yaitu tempat asal inokulum itu, biji yang terinfeksi,
bahan tanaman :L stek, akar, bibit. Pada jamur inokulum berupa spora, konidia, klerotia
(hifa yang rapat dan padat ), dan fragmentasi miselia. Inokulum dibagi menjadi
2 yaitu : inokulum primer dan inokulum sekunder.
Inokulum primer adalah inokulum
yang hidup dorman pada tempat – tempat tertenru pada saat tumbuhan inang tidak
ada, dorman pada sisa tumbuhan sakit, tanah. Inokulum primer yang menginfeksi
tumbuhan disebut infeksi primer. Sedangkan inokulum sekundeR Adalah inokulum
lanjutan dari infeksi primer yang menyebabakan infeksi pada tumbuhan.
1.2 Tujuan
Praktikum
Adapun tujuan dari praktikum ini
adalah sebagai berikut:
- Mahasiswa
dapat mengetahui cara menginokulasi
2. Mengetahui berbagai Mengidentifikasi patogen penyebab
suatu penyakit tanaman
dengan metode postulat koch.
3. Mengetahui dan mempraktikan metode
Postulat Koch.
4. Untuk membuktikan bahwa
penyakit tersebut sama denga penyebab penyakit yang disebabkan
patogen yang sama
II.
METODOLOGI PERCOBAAN
2.1 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam
praktikum adalah tempat/nampan, tisu, air, jarum ose, jarum, bunsen dan bahan
yang di gunakan cabai dan media pembuatan,
2.2.Prosedur Percobaan
Cara kerja dari percobaan ini adalah kita
siapkan cabai yang ada, kemudian lukai dengan jarum sebelum itu bakar dulu
jarum di bunsen, ketika sudah di lukai, tandai bahan yang aan di ambil, bakar
jarum ose lalu ambil media yang ada kemudian pindahkan ke cabai yang sudah di
lukai, kemudian simpan di tempat/nampan yang sudah di berio tisu yang di
bahasahi, ini digunakan untuk mempercepat antraknosa, dan ambil cabai yang
tidak di lukai masukan ke dalam tempat/nampan yang sudah di sediaka. Ini di
maksudkan untuk sebagai pembanding antara cabai yang di lukai dan dengan tidak
di lukai.
Pada pelukan
lidah mertua tidak jauh berbeda, namun ini di berikan media kemudian di besi
selotip, ini dio karenakan kita langsung menempelkan spesimen pada daun.
III HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
3.1. Hasil Pengamatan
Adapun hasil dari praktikum kali ini
adalah sebagai berikut:
- Pada cabai
KELOMPOK
|
GAMBAR
|
KETERANGAN
|
1
|
|
Tidak
muncul gejala yang ada ( gagal )
|
2
|
|
tidak muncul
gejala yang ada ( gagal )
|
3
|
|
Pada gejala
timbul d hari k 4, kamis. Berhasil
|
4
|
|
Tidak
muncul gejala yang ada ( gagal )
|
5
|
|
Pada gejala
muncul hari ke 4 (kamis) namun tidak berhasil
|
6
|
|
Pada hari
ketiga muncul gejala yang ada. Berhasil
|
7
|
|
Pada
hari ke 5 muncul gejala tp selanjutnya ilang. Berhasil
|
8
|
|
Pada hari ke 5
namun hilang 2, yang berhasil adalah cabai yang dilukai menimbulkan gejala
antraknosa. Berhasil
|
- Pada lidah mertua
No
|
Gambar
|
Keterangan
|
1
|
|
Pada daun hawar
gejala yang ada sangat lambat sekali,
|
3.2.Pembahasan
Adapun pembahasan kali ini adalah :
Pada praktikum kali
ini kelompok yang berhasil dalam inokulasi pada tanaman sehat merupaka kelompok
3, 6, 7, dan 8. Rata-rata gejala yang timbul pada hari ke-4 setelah di lakukan
nya inokulasi. Kelompok yang gagal dal percobaan ini adalah 1, 2, 4, dan 5. Ini
di sebabkan ada nya faktor yang mempengaruhi suatu kegagalan yang yang ada
yaitu
1. Sumber inokulasi yang
diberikan tidak mengandung mikroorganisme yang
diinginkan
2. Ketidaksterilan alat-alat
yang digunakan sehingga terjadi kontaminasi
3. Tidak di
sediakan nya makan yang ada.
4. Suhu atau
temperatur.
5. Kelalaian yang
di lakukan tidak setiap harinya di siram media yang ada(
Agrios,G.N.1996) .
Penyakit antraknosa atau patek ada dua macam yaitu:
1. Antraknosa Colletotrichum capsici.
2. Antraknosa Gloeosporium sp.
Antraknosa Colletotrichum capsici : serangan penyakit ini dicirikan dengan cara menginokulasi pada tengah buah cabai dan biasanya menyerang cabai yang sudah tua. Colletotrichum capsici mempunyai banyak aservulus, tersebar di bawah kutikula atau pada permukaan, berwarna hitam dengan banyak seta. Seta berwarna coklat tua, bersekat, halus dan meruncing ke atas.
Pada praktikum ini, kita mengambil
tanaman yang mengalami gejala dan tanda penyakit. Penyakit yang
menyerang tanaman tersebut adalah Penyakit ini disebabkan oleh patogen
(Colletotrichum gloeosporioides). Penyakit ini muncul pada buah yang belum
matang (bewarna hijau). Gejala tersebut dalam bentuk bercak-bercak
cokelat sampai hitam pada buah. Gejala-gejala awal adalah kebasah-basahan dan
terdapat cekungan pada buah. Bintik ini kemudian berubah menjadi hitam dan
kemudian merah muda ketika jamur menghasilkan spora daging di bawah titik
menjadi lembut dan berair, yang menyebar ke seluruh buah. Pada daun juga dapat
dilihat. bintik yang akhirnya berubah menjadi cokelat. Pada buah, gejala muncul
hanya pada saat pematangan dan mungkin tidak terlihat di waktu panen (Semangun,
2000).
Penyakit ini disebabkan oleh (C.
gloeosporioides). Cendawan ini mempunyai aservulus berbentuk bulat, jorong,
tidak teratur, berseta atau tidak. Seta mempunyai panjang yang variabel, tetapi
jarang yang lebih dari 200mm, tebal 4-8mm, bersekat 1-4, bewarna cokelat,
pangkal agak membengkak dengan ujung meruncing yang sering membentuk konidium
pada ujungnya(Pelczar,
M.J. 2006).
Perkembangan Penyakit Patogen
timbul dari semenjak pembibitan dan bertahan pada tanaman inang yang lain,
seperti tomat, kentang, terong, mentimun ataupun gulma disekitar pertanaman.
Patogen akan bertambah jumlahnya apabila dilakukan penanaman secara terus
menerus tanpa berganti jenis tanaman. Penyakit muncul dari spora yang
dihasilkan pada buah atau daun tanaman yang sakit. Guyuran air menjadi faktor
pendorong penyebaran spora jamur pada partikel tanah. Suhu optimum agar terjadi
infeksi pada buah yaitu 20-24°C dengan kondisi kelembaban permukaan buah yang
cukup. Semakin lama periode kelembaban permukaan buah, maka semakin besar
keparahan penyakit antraknosa. Buah yang berada dekat dengan permukaan tanah
adalah yang paling mungkin terkena infeksi melalui kontak tanah akibat guyuran
hujan atau secara langsung(Pracaya, 2006).
Berdasarkan hasil praktikum inokulasi,
keberhasilan inokulasi secara mekanis tergantung pada konsentrasi virus
dalam sap, sumber inokulum, metode penyiapan inokulum, ketahanan virus
terhadap sap, dan tanaman inang. Kondisi lingkungan sebelum dan sesudah
inokulasi, seperti cahaya dan suhu juga mempengaruhi keberhasilan inokulasi.
Daun yang terinfeksi virus umumnya memiliki kenampakan daun yang permukaannya
halus, berbercak dan tidak berlubang(Pelczar,
M.J. 2006).
Pada percobaan yang dilakukan, dari
hasil inokulasi pada tanaman sansivera sehat, diperoleh gejala yang sama dengan
sancivera sakit yang dianalisis. Setelah dilakukan pengamatan di bawah
mikroskop, juga didapat jamur yang sama dengan pengamatan pada sancivera sakit.
Setelah biakan jamur direisolasi kemudian diamati di bawah mikroskop, hasilnya
juga didapat jamur yang sama dengan hasil pengamatan pada asosiasi dan isolasi.
Dengan demikian, dapat dikatakan jamur tersebutlah yang menyebabkan penyakit pada
sansivera tersebut. Hasil analisis postulat koch tersebut sama dengan hasil
penelitian yang dilakukan yang pertama kali meneliti penyebab penyakit
anatraknosa pada sansivera di daerah florida.Jamur tersebut
adalah Colletotrichum sansevieria yang dapat menyebabkan penyakit
antraknosa pada tanaman sansivera(
Dwidjoseputro, 1994).
Dwidjoseputro, 1994).
Konidium berwarna hialin, berbentuk
tabung (silindris), ujung-ujungnya tumpul atau bengkok seperti sabit. Konidium
dapat disebabkan oleh angin. Cendawan pada buah masuk ke dalam ruang biji dan
menginfeksi biji, sehingga dapat menginfeksi persemaian yang tumbuh dari benih
yang sakit(
Dwidjoseputro, 2003).
Antraknosa Gloeosporium sp : Penyakit ini dicirikan dari jenis serangannya pada ujung cabai dan bisa menyerang pada cabai yang muda maupun yang sudah tua.
Kedua jenis Penyakit Antraknosa ini bisa menyerang sendiri-sendiri maupun bersamaan. Serangan penyakit tersebut biasanya akan meningkat saat kelembaban tinggi disertai suhu udara yang tinggi pula. Untuk mengendalikan Penyakit Antraknosa tidak bisa dilakukan hanya saat sudah mulai terjadinya serangan, namun harus dimulai dari awal proses pembibitan sampai penanaman.
Colletrotichum sp. menunjukkan gejala bercak cokelat kehitaman yang kemudian akan meluas menjadi busuk lunak. Pada bagian tengah bercak terdapat kumpulan titik-titik hitam yang merupakan koloni cendawan. Sedangkan tanaman yang terserang patek atau antraknosa akibat infeksi cendawan Gloesperium sp.menunjukkan bercak cokelat dengan bintik-bintik berlekuk. Pada bagian tepi bintik-bintik tersebut berwarna kuning membesar dan memanjang. Jika kelembaban tinggi, cendawan akan membentuk lingkaran memusat atau konsentris berwarna merah jambu. Serangan pada buah cabai biasanya diawali dari bagian ujung buah yang mengakibatkan dieback atau mati ujung. Serangan berat akan menyebabkan buah kering dan keriput
Penyakit patek atau antraknosa merupakan penyakit utama cabe yang sangat ditakuti oleh petani cabai. Serangan patek atau antraknosa ini mampu membuyarkan impian petani untuk memetik hasil yang besar, bahkan tidak jarang justru menimbulkan kerugian meskipun harga cabai sedang tinggi(Semangun, 2000).
Dwidjoseputro, 2003).
Antraknosa Gloeosporium sp : Penyakit ini dicirikan dari jenis serangannya pada ujung cabai dan bisa menyerang pada cabai yang muda maupun yang sudah tua.
Kedua jenis Penyakit Antraknosa ini bisa menyerang sendiri-sendiri maupun bersamaan. Serangan penyakit tersebut biasanya akan meningkat saat kelembaban tinggi disertai suhu udara yang tinggi pula. Untuk mengendalikan Penyakit Antraknosa tidak bisa dilakukan hanya saat sudah mulai terjadinya serangan, namun harus dimulai dari awal proses pembibitan sampai penanaman.
Colletrotichum sp. menunjukkan gejala bercak cokelat kehitaman yang kemudian akan meluas menjadi busuk lunak. Pada bagian tengah bercak terdapat kumpulan titik-titik hitam yang merupakan koloni cendawan. Sedangkan tanaman yang terserang patek atau antraknosa akibat infeksi cendawan Gloesperium sp.menunjukkan bercak cokelat dengan bintik-bintik berlekuk. Pada bagian tepi bintik-bintik tersebut berwarna kuning membesar dan memanjang. Jika kelembaban tinggi, cendawan akan membentuk lingkaran memusat atau konsentris berwarna merah jambu. Serangan pada buah cabai biasanya diawali dari bagian ujung buah yang mengakibatkan dieback atau mati ujung. Serangan berat akan menyebabkan buah kering dan keriput
Penyakit patek atau antraknosa merupakan penyakit utama cabe yang sangat ditakuti oleh petani cabai. Serangan patek atau antraknosa ini mampu membuyarkan impian petani untuk memetik hasil yang besar, bahkan tidak jarang justru menimbulkan kerugian meskipun harga cabai sedang tinggi(Semangun, 2000).
C. capsici mempunyai banyak aservulus,
tersebar di bawah kutikula atau pada permukaan, berwarna hitam dengan banyak
seta. Seta berwarna coklat tua, bersekat, halus dan meruncing ke atas. Konidium
berwarna hialin, berbentuk tabung (silindris), ujung-ujungnya tumpul atau
bengkok seperti sabit. Konidium dapat disebabkan oleh angin. Cendawan pada buah
masuk ke dalam ruang biji dan menginfeksi biji, sehingga dapat menginfeksi
persemaian yang tumbuh dari benih yang sakit. Cendawan yang menyerang daun dan
batang tidak dapat menginfeksi buah. Cendawan dapat bertahan dalam sisa-sisa
tanaman sakit. Pada musim kemarau pada lahan yang berdrainase baik perkembangan
penyakit kurang(Soesanto,
L. 2006).
Gejala penyakit keriting pada daun cabai Helai daun mengalami “vein clearing”,
dimulai dari daun-daun pucuk, berkembang menjadi warna kuning yang jelas,
tulang daun menebal dan daun menggulung ke atas (cupping). Infeksi lanjut dari
virus gemini menyebabkan daun-daun mengecil dan berwarna kuning terang, tanaman
kerdil dan tidak berbuah(Semangun H. 2000).
Variasi gejala yang mungkin timbul pada cabai adalah
sebagai berikut:
1. Tipe -1.
Gejala diawali dengan pucuk mengkerut cekung berwarna mosaik hijau pucat,
pertumbuhan terhambat, daun mengkerut dan menebal disertai tonjolan berwarna
hijau tua.
2. Tipe-2. Gejala
diawali dengan mosaik kuning pada pucuk dan daun muda, gejala berlanjut pada
hampir seluruh daun menjadi bulai.
3. Tipe-3. Gejala
awal urat daun pucuk atau daun muda berwarna pucat atau kuning sehingga tampak
seperti jala, gejala berlanjut menjadi belang kuning, sedangkan bentuk daun
tidak banyak berubah.
4. Tipe-4. Gejala
awal daun muda/pucuk cekung dan mengkerut dengan warna mosaik ringan, gejala
berlanjut dengan seluruh daun berwarna kuning cerah, bentuk daun berkerut dan
cekung dengan ukuran lebih kecil, serta pertumbuhan terhambat(Semangun H. 2007).
Pengendalian Adapun usaha-usaha yang dapat dilakukan dalam rangka mencegah dan mengendalikan patogen ini antara lain :
1. Melakukan
upaya preventif dengan penggunaan benih tahan virus kuning, penggunaan benih
yang tahan virus kuning akan meminimalisir serangan virus.
2. Menggunakan
bibit tanaman yang sehat (tidak mengandung virus) atau bukan berasal dari
daerah terserang.
3. Sanitasi
lingkungan dilakukan sebersih dan serapi mungkin terutama pada rumput wedusan
yang biasa digunaman sebagai pengganti inang virus kuning tersebut, karena kutu
kebul tersebut paling senang terhadap rumput tersebut sebagai pengganti tanaman
inang.
4. Pengaturan
jarak tanam dengan serapi mungkin dan tidak terlalu rapat, karena kutu kebul
juga takut terhadap pemangsanya ditempat yang agak terbuka. Maka jarak tanam
dapat diperlebar agar tajuk tanaman tersebut tidak bertumpuk-tumpukan.
5. Meningkatkan
stamina tanaman karena tanaman cabai tersebut juga melakukan perlawanan dengan
virus tersebut
6. Pemberian
pagar pada tanaman
7. Pemberian
perangkap dengan menggunakan botol yang sudah diberi hormon perangsang.
8. Pengendalian
hama terpadu dengan upaya pemanfaatan musuh alami seperti Menochilus
sexmaculatus, dengan pathogen Beauveria bassiana guna mengendalikan virus
kuning. Hal ini dilakukan agar biaya dapat ditekan sekaligus sebagai
efektifitas pengendalian OPT.
9. Melakukan
rotasi / pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang virus (terutama bukan
dari famili solanaceae seperti tomat, cabai, kentang, tembakau, dan famili
cucurbitaceae seperti mentimun). Rotasi tanaman akan lebih berhasil apabila
dilakukan paling sedikit dalam satu hamparan, tidak perorangan, dilakukan
serentak tiap satu musim tanam, dan seluas mungkin.Jika tanaman sudah
terinfeksi virus gemini (virus kuning) maka satu-satunya cara yaitu dilakukan
dengan cara eradikasi atau pemusnahan. Tanaman terinfeksi dicabut dan dibakar
atau dibuang pada tempat yang jauh dari pemukiman tanaman cabai(Semangun H. 2000).
Untuk mendukung keberhasilan usaha pencegahan dan
pengendalian penyakit virus kuning pada tanaman cabai, diperlukan peran aktif
para petani dalam mengamati / memantau kutu kebul dan pengendaliannya mulai
dari pembibitan sampai di pertanaman agar diketahui lebih dini timbulnya gejala
penyakit dan penyebarannya dapat dicegah(Talaro K.P. 1999).
Sansevieria
merupakan salah satu tanaman hias yang bermanfaat. Salah satunya adalah mampu
menyerap polutan yang ada. Tanaman ini diperbanyak secara konvensional
menggunakan biji juga setek daun juga dapat menggunakan rimpang. Tanaman ini
cukup mudah untuk dikembangkan karena memiliki daya adaptasi yang cukup luas.
Perbanyakan tanaman ini seara kultur jaringan mulai dibudidayakan(Pracaya, 2007).
Faktor dari lingkungan juga perlu diatur agar berada
pada kondisi optimum bagi tumbuh tanaman yaitu kondisi terbaik bagi tanaman.
Selain itu, dalam penyetekan diusahakan di lakukan pada waktu pagi hari yaitu
bahan dari stek tersebut dalam keadaan atau kondisi turgid. Usaha tersebut di
lakukan agar tingkat dari keberhasilan stek yang di lakukan bertambah
tinggi.Lingkungan serta keadaan yang baik dari stek antara lain:
1. Temperatur.
Tanaman stek berada pada kondisi optimum
apabila ditumbuhkan pada suhu 12°-27°C.
- Cahaya.
Durasi dari penyinaran
serta intensitas cahaya yang dibutuhkan tanaman induk tergantung dari
jenis tanaman itu sendiri, sehingga tanaman induk seharusnya
ditumbuhkan pada durasi serta intensitas cahaya yang sesuai.
3. Kandungan Karbohidrat.
Upaya yang dapat di lakukan
dalam meningkatkan kandungan karbohidrat bahan stek yang masih ada
pada tanaman induk, dapat dilakukan pengeratan yang bertujuan
untuk menghalangi translokasi dari karbohidrat. Pengeratan juga mempunyai
fungsi untuk menghalangi translokasi hormon dan substansi lain
yang penting dalam proses pengakaran, sehingga terjadi
percampuran zat-zat tersebut pada bahan stek. Karbohidrat sendiri,biasa
digunakan dalam pengakaran untuk membangun kompleks makromolekul, elemen
struktural dan sebagai sumber energi(Pelczar,
M.J. 2006).
Sanseviera memiliki keistimewaan yang
jarang ditemukan pada tanamanlain, diantaranya mampu bertahan hidup pada rentang
suhu dan cahaya yang luas. Sansevierajugasangat resisten terhadap gas udara
yang berbahaya (polutan), bahkan mampumeyerap 107 jenis polutan di daerah yang
padat lalu lintas dan di dalam ruanganyang penuh asap rokok. Hal
inimerupakansalahsatudayafaktor yang
menybabkansansevierabanyakdibudidayakanolehbnyak orang (Dwidjoseputro,
1994).
Faktor –faktor yang mempengaruhi keberhasilan
perbanyakan vegetatif yaitu bibit yang di gunakan, hormon yang ada dalam
tanaman, suhu lingkungan, iklim, unsur hara yang ada dalam tanah, ketersediaan
air, serta perlakuan dari manusia itu sendiri. Ciri-ciri keberhasilan dalam
perbanyakan vegetatif yaitu tumbuhnya akar pada stek daun. Tumbuhnya akar serta
tunas pada stek batang dan munculnya daun baru yang dapat berfotosintesis pada
percobaan sambung pucuk. Faktor lingkungan yang mempengaruhi perbanyakan
vegetatif yaitu suhu dan ketersediaan air. Karena suhu yang optimum baik untuk
pertumbuhan tanaman. Sedangkan air yang cukup mempengaruhi pada proses
metabolisme. Jika air yang tersedia tidak mencukupi maka proses metabolisme
pada tanaman akan terganggu. Khususnya pada tanaman yang baru akan
tumbuh. Keberhasilan perbanyakan dengan cara vegetative yaitu ditandai
dengan tumbuhnya akar pada tanaman baru(
Dwidjoseputro, 2003).
Dwidjoseputro, 2003).
IV.
KESIMPULAN
Dalam hasil percobaan yang telah dilakukan maka
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
- Metode postulat
koch digunakan untuk mengidentifikasikan apakah penyakit yang menyerang tanaman adalah patogen
yang sama
- Saat tahap inokulasi
perkembangan patogen lebih cepat pada tanamn cabai yang dilukai
dibandingkan tidak dilukai
- Tanaman yang terserang virus
dapat dikenali dengan adanya bercak berwarna putih atau kekuningan pada
daun, serta daun dapat menjadi layu dan mengkerut.
- Teknik yang digunakan pada
metode postulat koch ada empat tahapan, yaitu asosiasi, isolasi,reisolasi dan inokulasi.
- Colletotrichum
sansevieria merupakan
patogen yang menyebabkan penyakit antraknosa pada sansivera
- Jamur
dengan kondisi lembab dan dilukai permukaannya akan lebih cepat tumbuh.
DAFTAR
PUSTAKA
Agrios,G.N.1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gajah Mada University Press: Yogyakarta.
Dwidjoseputro,
D. 1994. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Djambatan. Jakarta.
Dwidjoseputro, 2003. Dasar-dasar Mikrobiologi. Djambatan: Malang.
Pelczar, M.J. 2006. Dasar-Dasar Mikrobiologi. UI Press: Jakarta.
Pracaya, 2007. Penyakit Tanaman. Penebar Swadaya: Jakarta.
Semangun, Haryono. 2007. Penyakit- penyakit Tanaman Hortikultura di
Indonesia. Edisi Kedua. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.
Semangun H.
2000. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gajah
Mada Univ Pr
Soesanto, L. 2006. Penyakit Pascapanen. Kanisius: Yogyakarta.
Talaro K.P. 1999. Foundation Mikrobiologi third
edition. MC Graw Hill
Company:Boston
LAMPIRAN
0 comments:
Post a Comment